Demokrasi ala Pesantren
Oleh : Alaika
Rahmatullah*)
Era kita adalah era ketika segala
bentuk aspirasi rakyat sudah bisa disajikan instan. Berbagai keputusan
pemerintah sudah dapat kita lihat dengan mudah melalui media – media informasi
yang ada. Disinilah kebebasan demokrasi. Tapi di era inilah, maksud dan tujuan
yang jelas dari pendapat rakyat atau keputusan pemerintah yang terjadi semakin
sulit difahami. Karena faktor dari komplikasi permainan media. Ada yang pro dan
kontra. Semakin sulit bagi siapapun untuk menghindar dari silang pendapat atau
keputusan yang melahirkan keremang – remangan. Itulah wujud dari demokrasi.
Sejatinya, demokrasi adalah
kebebasan intervensi rakyat dan pemerintah. Sistem demokrasi banyak diterapkan
di lembaga pendidikan utamanya yang berbau lembaga pendidikan agamis. Seperti
pesantren, karena bertujuan untuk menampung kesinkronan siswa dan pengurus
dilembaga pendidikan tersebut. Lalu, sejauh manakah kesadaran demokrasi
pesantren diterapakan ? banyak sekali yang berkata inilah demokrasi, tapi
apakah keputusan yang diambil melalui kelompok intern tanpa melibatkan rakyat dapat
disebut demokrasi ? Rakyatlah yang harus bisa berperan. Demokrasi pesantren tak
jauh beda dengan demokrasi pancasila, hanya titik perbedaanya berada pada
pelibatan rakyat dalam menjadi partisipan.
Demokrasi pancasila mengajarkan
sesuatu dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Posisi rakyat sangat berperan
penting. Demokrasi pesantren malah sebaliknya, pengurus yang berandil dalam
membuat peraturan tanpa melibatkan rakyat. Terlalu kompleks problematika
demokrasi yang terjadi di Pesantren, mulai dari yang bersifat eksternal atau
internal.
Tren global masa kini mengancam
kemurnian budaya demokrasi ala pesantren. Injeksi budaya barat telah
memengaruhi nilai – nilai kesantrian. Karena di zaman zetizen inilah dari orang yang paling awam sampai yang paling ahli,
sama-sama ikut berbicara melontarkan opini, gagasan, melakukan kritik, ataupun
keluhan, maka selain sulit menghindari ikhtilaf
dan kebenaran pada suatu permasalahan. Karena sangat sulit menemukan mana yang
benar dan membedakannya dari yang salah. Jadi yang ada bukan soal mana yang
bodoh dan mana yang pintar, tapi mana pesantren dan mana yang non pesantren.
Sehingga munculah doktrinitas bahwa orang pesantren kalah dengan orang non
pesantren. Dan karena itu akan lebih sulit lagi bagi kita untuk mendapati
sesuatu yang benar-benar menjadi kesepakatan bersama; muttafaqun ‘alaihi atau konsensus.
Demokrasi ala pesantren (foto: google) |
Problematika internal yang ada di
Pesantren kadang bisa melalui keputusan–keputusan yang tiba-tiba ada tanpa
sepengetahuan santri. Disinilah, banyak sekali perlawanan yang terjadi, bahkan
ujung-ujungnya dapat merusak mentalitas santri. Sangat ditakuti jika terkesan
mendidik santri berbau anarkisme. Oleh karena itu, harus berhati-hati dalam
mencetak karakteristik yang beretika.
Berapapun usaha manusia dalam
mendistorsi problematika kehidupan. Tak satupun valensi menembus titik
ekulibrium fikiran. Acak tak berujung. Abstrak membentang garis geometris. Para
nenek moyang manusia telah melewati seleksi alam yang penuh dengan tantangan.
Grafik tetap menunjukkan plus minus yang berlonjak naik turun. Itulah kehidupan
yang selalu memberikan stabilisasi makhuk ekstraterestrial ataupun
intraterestrial. Tak bisa jika sengaja dipaksakan. Karena sebuah social
relation membutuhkan feedback yang memang benar - benar nyata. Begitupun social
relation di Pesantren yang harus memberikan setengah pengorbanan kita untuk
orang lain supaya ketika santri terjun dimasyarakat nanti benar benar menjadi
titik tumpu masyarakat.
Fenomena itulah, seakan - akan
demokrasi pesantren yang dilaksanakan para kaum bersarung diremehkan dan nyaris
tak ada artinya sama sekali. Padahal dibalik demokrasi pesantren ada beberapa
faktor plus yang sangat urgen dengan demokrasi pancasila. Keduanya bersatu padu
dalam sinkronitas. Pemikiran yang terjadi sekarang ini, pesantrenlah yang
memegang peranan penting dalam menyelamatkan para generasi muda Indonesia.
Karena tanpa pesantren, akan banyak orang – orang yang tidak paham betul masalah
akhlak atau etika beragama baik secara vertikal maupun horizontal.
Apapun itu dan seperti apapun itu,
tantangan – tantangan yang mengancam utuhnya demokrasi pesantren harus
dibentengi dengan nilai – nilai kesantrian sehingga pengaruh ekstern ataupun
intern dapat kita hadapi. Karenanya, bukan hanya Indonesia yang punya ideologi
negara, tapi pesantren juga punya ideologi, sebagaimana panca kesadaran santri;
kesadaran beragama, kesadaran berbangsa
dan bernegara, kesadaran berilmu, kesadaran bermasyarakat, dan kesadaran
berorganisasi. Sudah seyogianya sebagai generasi muda Indonesia harus
memegang prinsip-prinsip kehidupan supaya bangsa ini menjadi bangsa yang baik
dan berdemokrasi.
*)Penulis adalah siswa aktif SMA Nurul Jadid Paiton
Probolinggo
Smoga Bermanfaat ilmux..!! Truslah mnulis di tunggu krya" adk yg lbih dahsyt... Wonderful Alaika Rahmatullah......
BalasHapusmakasih :-) dukungannya saja :D
HapusKayaknya nyinggung ustad nih
BalasHapus