Dewi Lestari menyeretmu lebih dalam lagi ke dunia Supernova lewat kepingan terbarunya, Gelombang. |
Awal perkenalan saya dengan Supernova dimulai dari buku pertama, Supernova: Ksatria, Puteri, Bintang Jatuh (KPBJ)
yang dirilis tahun 2001 ketika saya masih duduk di bangku SMP. Teman
sekelas saya membawanya ke sekolah lalu saya iseng meminjamnya dan baru
mengetahui jika Dee sang penulis ternyata Dewi Lestari dari trio pop
Rida Sita Dewi yang terkenal di medio 90-an. Sampulnya sekilas
mengingatkan saya pada buku pelajaran fisika dan melihat isinya saya
tercengang dengan banyaknya footnotes berisi istilah-istilah ilmiah dan teori antah berantah yang belum pernah saya baca sebelumnya. Its a little bit off-putting
awalnya karena saya lumayan alergi pada pelajaran IPA tapi toh saya
bosan di kelas dan mulai membacanya. Di rumah, saya menuntaskan buku
pinjaman itu. Jujur, saat itu saya beberapa kali saya melewatkan bagian
perdebatan intelektual Dimas-Reuben dan lebih fokus pada cerita
Diva-Ferre-Rana. KPBJ keluar di tengah berkembangnya computer culture di Indonesia, ketika internet sudah semakin umum, termasuk hal-hal seperti bulletin board, hacker, The Matrix, chat room
dan sebagainya yang menjadi obsesi baru remaja Indonesia, termasuk
saya. Satu hal lagi yang membuat novel ini berkesan adalah penggambaran same-sex relationship di antara Reuben-Dimas yang tidak terjebak pada dinamika cliche dan stereotyping. Satu hal yang cukup personal bagi saya saat itu.
Tak lama KPBJ keluar, muncul sekuelnya yang bertajuk Akar di tahun 2001, namun waktu itu saya sama sekali tidak aware dengan kehadiran buku kedua ini sebelum menonton infotainment
yang mengabarkan kontroversi yang menyelimuti kelahirannya. Waktu itu
saya sama sekali tidak tergerak untuk membaca, apalagi datang ke toko
buku untuk membelinya. Tapi lagi-lagi, universe seperti sengaja
menyuguhkannya di depan mata saya begitu saja. Saya membacanya dua
tahun kemudian, tepatnya tahun 2004. Saat itu saya sedang libur semester
kelas tiga SMA dan menginap di rumah ipar saya. Bosan main game, saya mulai mengecek lemari buku di lantai atas. Ada beberapa novel dan banyak komik Marvel, tapi mata saya tertumbuk pada Akar edisi cetakan pertama dengan simbol ohm masih tertera di sampul. Lagi-lagi out of boredom,
saya mengambilnya dan mulai membaca. Di halaman-halaman awal saya masih
merasa buku ini murni lanjutan buku pertama, sebelum tiba-tiba saya
diperkenalkan dengan tokoh Bodhi dengan segala keunikan dikotomi dan
perjalanan lintas negaranya. Narasi di buku ini berjalan lebih linear
dan tidak ada timbunan istilah rumit sehingga saya menghabiskan buku ini
dalam sekali duduk. Saya terpesona dan menemukan impian baru untuk backpacking (yang belum juga dilakukan sampai saat ini) and basically keinginan untuk keluar dari zona nyaman saya.
Seperti sudah direncanakan, hanya beberapa hari sejak membaca Akar, saya menemukan review tentang Petir, buku ketiga Supernova di sebuah majalah. Hari pertama kembali ke sekolah, saya mampir ke toko buku untuk membeli Petir. Dan lagi-lagi saya tersengat oleh keandalan Dee dalam bercerita. Jika KPBJ adalah perkenalan pertama yang berlangsung acuh tak acuh, maka Akar adalah pertemuan kedua yang memesona, namun baru di Petir akhirnya saya menyadari telah jatuh cinta seutuhnya dengan serial ini. Petir memiliki formula yang sama dengan Akar. Dibuka oleh bab (kepingan) yang berkaitan langsung dengan KPBJ
sebelum kita berfokus pada satu karakter baru, yaitu Elektra, gadis
dengan obsesi pada petir dan memiliki kemampuan menyembuhkan lewat
energi listrik alami pada tubuhnya. Yang menarik, gaya bahasa di Petir
bahkan jauh lebih ringan lagi, penuh humor, dan terasa santai seperti
atmosfer Bandung yang menjadi latar cerita di buku ini. Di titik ini
saya pun baru mengetahui masih akan ada dua buku Supernova lagi yang akan berjudul Partikel dan Gelombang yang memiliki satu tokoh sentral utama, serta Intelegensi Embun Pagi yang akan mempertemukan mereka semua dan menjadi pamungkas cerita.
Selepas Petir, para penggemar Supernova dihadapkan pada penantian panjang yang seakan tanpa akhir untuk menikmati sekuelnya, Partikel. Saya baca Petir ketika sedang belajar serius untuk SPMB, tapi bahkan sampai saya lulus kuliah dan mulai bekerja, Partikel
tidak kunjung datang. Penantian itu terjawab di tahun 2012. Delapan
tahun lamanya. Bayangkan bagaimana riuhnya respons para penikmat Supernova, terutama karena Partikel hadir di era social media,
khususnya Twitter. Antisipasi untuk buku keempat ini hampir tidak bisa
dibendung hingga akhirnya 13 April 2012, jam 4:44 sore, Partikel muncul di toko buku dan hal yang saya pikirkan hari itu adalah secepat mungkin ke toko buku untuk membelinya. It was almost emotional dan saya ingat betul rasanya merinding melihat buku itu langsung di depan mata. Partikel
mengisahkan Zahra, gadis keluarga Muslim dari Bogor dengan mata jeli
yang menangkap hal-hal yang sering luput dari orang awam, secara literal
oleh profesinya sebagai fotografer wild life, maupun hal-hal yang lebih bersifat transcendental. Partikel
adalah buku yang membuat saya bertanya-tanya tentang alam semesta,
konsep agama, dan melihat hal-hal sekitar dengan cara yang berbeda, baik
dengan bantuan enteogen maupun tidak. Personally, Partikel adalah buku Supernova yang paling relate untuk saya, so far.
Dalam sebuah email interview yang saya lakukan bersama Dee tentang Partikel, beliau memberi tahu saya jika fokus berikutnya adalah menyelesaikan Gelombang. Dan karena itu tak mengherankan jika Gelombang bisa hadir dalam waktu yang tak terlalu lama dari Partikel.
Buku kelima ini hadir tanggal 17 Oktober lalu, namun saya baru
membelinya dua hari lalu dan selesai membacanya kemarin. Entah kenapa
saya merasa tak ingin terburu-buru membelinya, namun seperti arus
pasang, saya terseret Gelombang sejak halaman-halaman awal. Saya tahu jika tokoh utama buku ini adalah Alfa dan selalu membayangkannya sebagai seorang geek yang mungkin ada kaitannya dengan fisika dan beragama Hindu (totally random bet, karena
merasa setiap tokoh akan memiliki agama yang berbeda). Saya tak tahu
bagaimana setting cerita buku ini karena saya menghindari spoiler di socmed
dan bahkan sengaja tidak membaca sinopsis di balik sampulnya saat
akhirnya membeli buku ini. Saya ingin mengenal Alfa tanpa pretensi.
Tapi, sejak pertama saya tahu jika Alfa ternyata berdarah Batak tulen,
langsung terbersit pikiran “Oh wait…. jangan bilang kalau
namanya sebenarnya Thomas Alfa Edison…” dan saya secara spontan terkekeh
sendirian karena intuisi saya benar.
Yup, Alfa adalah Thomas Alfa Edison Sagala
yang lebih akrab dipanggil “Ichon”, anak bungsu keluarga Sagala dari
Sianjur Mula-Mula, sebuah kampung di Samosir, Sumatera Utara yang
dipercaya sebagai asal muasal lahirnya suku Batak dan masih menganut
agama tradisional yang disebut Parmalim. Bermula dari sebuah upacara
pemanggilan roh leluhur, kehidupan Ichon si bocah penggemar serial Kho Ping Hoo
berubah dengan hadirnya mimpi yang sama berulang-ulang dan kehadiran
makhluk gaib misterius bernama Si Jaga Portibi yang seakan mengintainya.
Keanehan tersebut ditangkap oleh dua orang dukun yang ingin
memperebutkan Ichon sebagai murid, menyisakan Ichon di persimpangan
keputusan dan hampir kehilangan nyawanya untuk itu. Insiden yang membuat
keluarga mereka memutuskan merantau ke Jakarta, walau tak lama
setelahnya Ichon pun pergi lebih jauh lagi ke belahan dunia lain sebagai
imigran gelap di Amerika Serikat. Dihantui mimpi buruk yang sama setiap
harinya, Ichon alias Alfa alias Alfie belajar mempertahankan diri
dengan menahan tidur. Dan dengan kecerdasan alami, keuletan, serta waktu
belajar ekstra dari teman-teman sebayanya, ia berhasil mendapat
beasiswa penuh di kampus Ivy League sekaligus selamat dari
kehidupan imigran gelap yang penuh risiko deportasi dan lingkungan yang
dikuasai gang kriminal. Nasib menghempaskan Alfa pada Wall Street, salah
satu surga dan neraka dunia dalam arti sesungguhnya, di mana ia meraih
sukses sebagai hot-shot trader, gitaris berbakat, sekaligus full-blown insomniac di saat yang sama. Tertidur lelap sama artinya dengan meregang nyawa baginya, karena secara tak sadar ia memiliki suicide program
ketika tertidur. Pertemuan dengan seorang gadis luar biasa cantik di
sebuah klub rahasia yang membuatnya terbablas tidur dan nyaris mati,
mempertemukannya dengan Dr. Nicky dan Dr. Colin dari Somniverse, sebuah
pusat kajian yang berfokus pada masalah tidur, mulai dari insomnia,
gangguan tidur, mimpi, hingga lucid dream. Perlahan tabir mulai
terbuka dengan sendirinya, mengantarkan Alfa ke Tibet untuk menemukan
jawaban dari segala mimpinya dan belajar memercayai instingnya sekali
lagi.
Selalu ada pengetahuan baru yang saya dapat dari buku-buku Supernova, dalam Gelombang, hal itu adalah mekanisme mimpi, lucid dream,
dan kosmologi Batak yang mengagumkan. Gaya penulisan Dee sendiri dalam
buku ini terasa sangat fokus dan seakan tak menyisakan ruang untuk
bernafas. Klimaks terus terbangun dengan intens hingga buku sudah
mencapai ¼ akhir. Bayangkan Inception bertemu dengan Bourne Identity dan Jumper. Unsur fast-paced action
itu yang memaksa saya untuk tidak berhenti membaca sampai larut malam,
bahkan ketika mata ini sudah lelah dan rasa ngantuk mulai menyerang.
Seakan saya bisa merasakan perjuangan Alfa untuk bisa tetap terbangun
dan menghindari tidur. Saking cepatnya, entah kenapa ada sensasi fast-forward yang saya rasakan dalam Gelombang,
yang membedakannya dari buku-buku sebelumnya yang mengajak kita
menikmati perkembangan tokoh utamanya dengan lebih personal. Ada sesuatu
yang membuat saya merasa tidak pernah benar-benar mengenal sosok Alfa
ketika ia dewasa karena ia hanya terfokus pada mimpinya dan emosinya
yang naik-turun. Tidak ada keterikatan dalam level emosional seperti
yang saya alami dengan Elektra dan Zahra.
Gelombang terasa seperti paradoks alfa dan omega. Di satu sisi, secara kronologis Gelombang adalah buku terakhir yang berfokus pada satu tokoh (avatar?) utama dan menjadi kepingan terbesar puzzle yang menjawab banyak pertanyaan tentang universe
yang dibangun Dee. Di buku ini kita diperkenalkan dengan
istilah-istilah seperti Asko, Infiltran, Peretas, dan Sarvara sekaligus
beberapa clue yang membuat kita mulai meraba alur cerita sebetulnya dari saga ini. Di sisi lain, Gelombang pun justru terasa seperti babak awal dari buku-buku sebelumnya. Akar, Petir, Partikel adalah cerita yang sebetulnya bisa berdiri sendiri tanpa adanya bab yang berkaitan dengan KPBJ, namun rasanya sulit untuk benar-benar menikmati Gelombang tanpa pernah membaca buku-buku sebelumnya, terutama mungkin Akar, karena dua tokoh penting dalam Akar kembali muncul dalam Gelombang dalam porsi singkat namun sangat menohok bagi siapa pun yang membaca Supernova dengan khidmat. Gelombang seakan ingin menghempas kita untuk kembali membaca ulang buku-buku sebelumnya demi mengumpulkan remah-remah clue yang tercecer.
Terlepas dari beberapa hal yang mungkin terasa ganjil dan menimbulkan beberapa pertanyaan baru, kita semua tahu jika Gelombang adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. And I can’t hardly wait for it.
Dikutip dari Alexander Kusuma Praja CEO alkupra.wordpress
0 komentar:
Posting Komentar